Tuesday, May 19, 2015

Tentang Bubur Ayam dan Main Stream

Saya merasa yang akan saya share kali ini agak absurd. Tapi... sepertinya menarik, secara subyektif (happy)

Dari awal saya mengenal bubur ayam, ketika saya masih kecil, saya diajarkan untuk memakannya dengan mengaduk buburnya terlebih dahulu, agar bercampur dengan suwiran ayam, daun seledri, kecap, kuah kaldu, lada, kacang kedelai/tanah, dan bahkan dengan kerupuk dan sambal. Umm.. terdengar nikmat yah, bagi yang suka (happy) Tapi rasa itu malah membuatku merasa eneg. Anehnya hampir semua orang melakukan hal yang sama dan menikmatinya. Saya rasa bubur dan pernak-perniknya rasanya enak, lalu kenapa mencampur semuanya menjadikannya eneg untuk saya?! Saya memutuskan, memakan bubur ayam tanpa mengaduknya, dan saya malah menikmatinya. Masing-masing rasa dari ayam, kacang, kecap, lada, daun seledri, dan buburnya, lebih terasa di setiap suap buat saya. Kerenyahan kerupuknya membuat saya mengabaikan lembeknya bubur sehingga tidak eneg. Semua punya rasa, dan buat saya itu kaya... I have my own way to do it.

Sampai saat ini, setiap saya tanya ke teman-teman sekeliling saya, baik di kantor atau dimanapun, mereka masih mengaduknya, dan justru buat mereka itu lebih enak. Yang saya mau share, bukan tentang bagaimana makan bubur ayam agar bisa menikmatinya. TAPI... bagaimana kita mencari kenikmatan itu sendiri dengan cara kita sendiri tanpa harus menerima doktrin atau penanaman ide dari orang lain. Bagaimana.. jika kondisinya seperti ini: 
- Kita tidak pernah mengenal bubur ayam, namun kita disajikan makanan tersebut.
- Kita tidak diberitahukan cara memakannya. Hanya ada semangkuk bubur ayam, sendok, sepiring kecil kerupuk, dan tempat sambal.
- Kita tidak bisa bertanya ke siapapun bagaimana cara memakannya dan apa rasanya.
Apa yang Anda lakukan..? Silakan dibayangkan sendiri (happy)

Hmm.. Mungkin hidup kita terlalu sederhana, cara hidup diajarkan turun-temurun. Mungkin kita pun berpikir sederhana, melakukan yang orang lain umumnya lakukan agar hidup terasa mudah, tak perlu berpikir berbeda agar tak mendapat kesulitan. Kelihatannya mudah yah (happy)
Tapi, apa kita sadar, kita menjadi serupa dengan orang lain? Orang bilang bumi itu bulat, kita ikut.. Orang bilang bintang itu segilima dan punya lima sudut runcing, kita hayu... Kalau semua orang seperti itu, ga akan ada ilmu bumi yang menunjukkan bentuk bumi pepat di kedua kutubnya.. ga akan ada ilmu astronomi dan para astronot..

And that's the point. Saya bukan orang yang membenci main stream.. Tapi saya orang yang suka curiga, semakin suatu hal menjadi main stream, semakin saya curiga apa itu satu-satunya stream (arus)..? Ga ada cara lain yang lebih baik? Segitu desperate-nya kah kita mencari cara lain? Segitu tidak kreatif-nya kah manusia dicipta dengan akal pikiran yang diberkahi Tuhan? Well, I don't think so.

Di akhir post, saya mau menceritakan sesuatu yang bisa kita bayangkan masing-masing.
Di suatu desa, ada satu sungai yang lebarnya tidak terlalu lebar dantidak terlalu sempit. Airnya jernih dan arusnya lumayan kuat. Sungai ini mengalirkan air ke laut. Awalnya, banyak ikan yang melalui sungai itu, entah untuk migrasi atau mencari pasangan untuk musim kawin. Suatu masa, sungai itu sungguh patut dikasihani. Banyak pemburu ikan dan juga ibu-ibu mencuci pakaian dengan detergen berbahaya bagi makhluk sungai. Belum lagi, lumpurnya sudah makin menumpuk dan membuat sungai itu dangkal. 
Menurut Anda, apa yang sebaiknya ikan-ikan itu lakukan? Mencari arus lain? Karena ikan-ikan lain mulai beralih ke arus lain jadi sebaiknya diikuti saja? Atau karena sungai itu mulai dirasa tidak nyaman dan berbahaya, barulah mulai mencari arus lain? Bagaimana jika waktu hampir habis? Seperti halnya usia kita yang terbatas? Kenapa tidak dari dulu sewaktu sungai itu terasa nyaman? Kita mungkin bertanya, "Siapa yang tahu arus selain di sana tidak berbahaya?" Tapi bagaimana jika sebaliknya, "Siapa yang tahu arus selain di sana justru jauh dari habitat manusia, masih alami, dan jauh lebih aman untuk dilalui..?"