Friday, February 26, 2010

Rejeki sekaligus jodoh

Ini segelintir cerita yang mau kubagi. Beberapa bulan ini, (akhirnya) aku sadar bahwa ini salah satu jodoh yang Allah kasih... (coffee)

Dulu pertama kali aku bertemu, menginjakkan kaki di gedung itu, aku cuma merasa hanya sebagian kecil keinginanku untuk bekerja di sana. Toh, belum tentu di situ takdirku melangkah. Satu gedung yang besar, mewah, seolah berada di negara tetangga yang terkenal akan kerapihan kotanya.. Bahkan aku masih ingat bahwa ada satu teman yang nyeletuk, "enak kali ya kerja di sini.." (day dreaming) Dan aku ga merasa perlu membenarkannya (straight face)

Saat itu pun aku rasa tidak ada salahnya magang di sana, walau lamaranku tidak digubris (sad) Melainkan temanku yang lain yang magang di sana. Dua tahun kemudian, setelah aku lulus, aku sempet berpikir untuk murtad, cari kerjaan di luar jurusan kuliahku... (big grin) Sampai aku dapat satu pekerjaan dari info seorang teman, tapi aku tetap merasa ini bukan yang aku cari (whew!)Mungkin menjadi dosen adalah pilihanku, walau sulit dan harus berusaha bergelar S-San sampe es teler (tongue) karena nampaknya peluang kerja dosen di universitas ternama harus lulusan master. Mungkin Master Ded*y dan Master Sin*ad cocok tuh (laughing)

Di satu hari, aku mencari lowongan di internet seperti biasanya, sampai aku menemukan satu nama ABCD (bukan nama sebenarnya (don't tell anyone)) Gedung yang dulu aku datangi untuk mewawancara seorang Kepala Divisi IT untuk tugas kuliah, instansi di mana juga aku pernah mengirim lamaran magang, maka aku rasa tidak ada salahnya mencari peluang kerja di sana, sekali lagi. Walau lamaranku bukan buat magang, tapi HRD sempat juga menawarkan magang dulu di awal, itu di saat belum diadakan wawancara atau tes-tes terkait...
Aku pun agak ga sabaran dengan status gantung (hurry up!) tidak ada kabar berita, maka aku memberanikan diri meng-email dan menelepon pihak HRD, setidaknya meminta kejelasan apakah lamaranku ditolak. Jadi aku tidak akan bimbang ketika ditanyakan perusahaan lain untuk bekerja di tempat mereka. Jawabannya waktu itu bahwa akan dikabari lagi nanti, karena kesibukan yang ada... Sampai akhirnya serangkaian proses tes dijalankan.

Di saat wawancara, aku sama sekali ga mengerti mengenai tunjangan, bonus, atau apapun yang mereka bicarakan itu, yang kupikir toh ga akan didapat karyawan baru.. Masalah gaji pun, separuh lebih dikit dari gaji yang kudapat di kerjaan sebelumnya. Waduh, hidup makin berat, pendapatan makin sedikit, pikirku..(worried)Namun, dari beberapa pertimbangan, akhirnya kuambil peluang yang ada dengan kalimat pernyataan yang kuingat "kalau kamu mau belajar, di sini tempatnya. banyak peluang yang bisa kami beri. Tapi untuk gaji yang kamu minta, kami ga bisa memberikan segitu"
Aku pikir, selama ini toh aku pun cari kesempatan belajar, kerjaan yang bukan sebagai vendor melainkan client, kantor yang ga punya cabang karena takut dipindah-pindah, hahaha.. (laughing) and I found those in here. Jadi, mulailah aku bekerja di tempat ini. Penyesuaian diri dimulai, observasi dijalankan untuk bisa beradaptasi, karena tidak semua orang bisa menerima caraku dan tidak semua cara orang bisa kuterima.

Pertanyaan-pertanyaan pun mengalir, "kenapa ABCD? ga perusahaan lain?" seolah aku di sana karena materi yang kukejar. Jujur, tidak sepenuhnya benar. Toh, setahun pertama aku sampai perlu mencari uang tambahan, mencari lowongan guru privat untuk menutup kebutuhan harian, bahkan beberapa rekan baru yang sefakultas denganku, job desk yang sama tapi gajinya lebih besar, aku tidak mempermasalahkannya. That's normal and not a big deal. Masing-masing orang, masing-masing rejeki... Aku terima seadanya, dengan tetap berpikir untuk menjadi dosen nantinya. Teteup.... (big grin)
Pertanyaan selanjutnya, "tau dari mana ada lowongan di sini?" seolah karena banyak senior fakultasku yang bekerja di sana, maka aku bisa dengan mudah masuk, aku bisa dengan mudah tau ada lowongan di sana. Padahal tahu pun aku tidak, bahwa ada beberapa orang senior yang berasal dari kampus yang sama.

Makin hari, aku tidak menemukan yang aku cari, hal yang aku tulis di kolom isian "yang diharapkan dalam bekerja di ABCD" waktu tes masuk pertama kali, sebut saja hal X. Aku tidak akan menulisnya, tapi aku tahu seseorang pasti mengingatnya, beliau yang juga berharap aku mendapatkannya. Maka aku mengajukan pengunduran diri, walau belum resmi, tapi sudah dibicarakan panjang lebar dengan manajemen minus direksi, rasanya sudah bulat ketika itu. Instansi memberiku waktu berpikir sekali lagi, pikir matang-matang. Sempat ketika berbicara mengenai hal itu, aku membendung air mata, tidak tega karena akan banyak tanggung jawab yang terlunta, tapi juga tidak merasa mendapatkan apa yang aku harap. Aku tidak membuatnya menjadi alasan ketika itu. Aku hanya bilang ingin cari pekerjaan yang lebih dekat dari rumah.. (devil)

Setelah berpikir panjang dan matang, banyak berdoa (praying) aku akhirnya ikhlas menjalani pekerjaan ini, memanfaatkan kesempatan ini, membulatkan tekad sebagai tulang punggung harapan keluarga, dan aku kembali ke rutinitas yang ada, menghapus cita-cita yang membabi buta, berkonsentrasi mengembangkan diri, mengambil kesempatan belajar yang ada, menyehatkan tubuh yang agak sering drop, dan juga pulang ke rumah (alias berhenti ngekos (tongue)) Banyak yang tanya, "kenapa ngekos di xxxxx, sedangkan rumah di xxxxx?" ada beberapa pertimbangan, bahwa aku ga akan merepotkan orang tua, aku bisa menghemat transportasi, aku bisa lembur tanpa menguatirkan keluarga, aku bisa menanggung semua beban sendiri tanpa merisaukan orang rumah.

Nah, balik lagi ke jodohku yang satu ini. Kenapa aku bilang jodoh, karena ketika aku menetapkan diri untuk menjalaninya, perlahan kehidupanku membaik, pekerjaan semakin menyesuaikan (kadang terasa menyenangkan juga), peluang semakin terbuka, hati semakin mudah ditenangkan walau dalam tekanan, ibadah pun semakin ingin aku jalankan, dan pikiran semakin positif. Pertanyaan yang terlontar di suatu hari, "Nilam kan di ABCD cuma nyari duit (big grin)" hm.. kalau saja aku ngincernya duit, mungkin aku sudah ga di sana dari sejak awal (oh go on) aku ga akan rela berdiam di sana ketika aku merasa ga mendapatkan hal X tersebut, aku sudah menghilang dari pekerjaan yang ada itu, cukup menyelesaikan kontrak yang ada... (whew!)

Yah... setelah kupikir, mungkin ini jodoh yang Tuhan kasih... apapun doa yang kuminta mengenai lowongan lain, sepertinya digagalkan atau dibuatNya aku menggagalkannya. Mungkin Ia tahu, ini yang terbaik. Entah sampai kapan berjodoh, tapi semoga aku bisa menjalani amanah dengan benar... Well, mencari pekerjaan seperti mencari jodoh pasangan hidup bukan?! melamar sana-sini... mencari yang cocok... sampai akhirnya menjadi karyawan tetap.. jadi ga salah kalau aku bilang pekerjaan itu bukan saja rejeki, tapi jodoh bukan?! he he he.... (big grin)
Mengenai hal X itu, aku rasa sekarang ini aku cukup mendapatkannya (happy)

Sunday, February 07, 2010

Cari Kerja itu "SUSAH"

Berawal dari kemarin pagi.. aku berangkat naik bus Patas AC dengan ongkos seharga Rp. 6,000.- Pagi itu, bus penuh sekali, memang aneh kalau hari Sabtu pagi, bus AC bisa penuh seperti hari kerja.
Setelah aku duduk, ada 2 orang yang kukira pengamen bus. Satu orang berdiri di tengah bus memegang Ukulele dan temannya berdiri di belakang. Aku duduk di bagian pinggir barisan dua kursi di tengah bus. Si Pengamen yang berdiri di tengah mulai berorasi mengenai rasa laparnya, keinginannya atas beberapa Rupiah agar diberikan kepadanya, keadaan mereka bahwa mereka bukan binatang tapi manusia yang lapar, lagi-lagi lapar, lapar, dan lapar yang ditekankan. Lalu, temannya yang berdiri di belakang maju ke tengah, mereka bertukar tempat. Temannya ini mulai membuka silet terbungkus, yang tinggal separuh potongan, lalu memotong-motong kertas (thinking) Ia seperti menekankan bahwa yang ia pegang adalah benda tajam, sambil memotong-motong kertas menjadi serpihan-serpihan kecil (straight face) Kemudian, ia menekankan lagi, karena lapar, lapar, dan lapar, ia langsung memasukkan sepotong silet itu ke mulut dan mengunyahnya (worried) Waduh... main berat nih (raised eyebrows)

Kebanyakan penumpang yang wanita, seperti agak ngeri dan akhirnya mengeluarkan receh, bukan koin (Rp. 500) tapi selembar Rp. 1,000. Banyak sekali yang didapat di genggaman orang itu dengan menyebar rasa intimidasi seperti itu. Aku sebenarnya pun sedikit cemas, karena posisi dudukku pun di pinggir. Bukan sulit kalau ternyata siletnya ia gunakan untuk mengancam jika penumpang tidak memberinya uang. Dalam hati cuma Bismillah dan tenang, lalu seperti biasa aku menunduk (seolah minta maaf) karena tidak memberi receh. Well, tidak ada ancaman hari itu (whew!) Yang bikin aku heran, lalu gitar kecilnya untuk apa? Karena setelah itu pun mereka ga mengamen, tapi turun dari bus (no talking)

Pikir punya pikir, beberapa minggu lalu di hari meninggalnya nenek, aku banyak bertemu kerabat, dan beberapa dari mereka masih tidak bekerja. Kesannya, menunggu adanya peluang. Bukan cuma mereka, banyak orang-orang sekeliling rumah yang juga belum bekerja dengan mengeluh, "cari kerjaan susah.."

Sebenarnya, kalau saja aku orangnya tega, mungkin aku akan bilang, "cari kerjaan itu ga susah, yang susah cari kerjaan yang enak! cari kerjaan yang nyaman.. itu yang susah." (big grin) "Ga bisa cari kerjaan" itu salah, yang bener "ga mau cari kerjaan" alias males, atau memang "belum rejekinya..."

Ada 2 hal yang inspiratif buatku:

Pertama, dari kecil aku uda makan didikan, "ga ada yang ga bisa. Jangan bilang ga bisa." Mungkin dulu rasanya kejam, semua harus bisa. Tapi sejak aku kuliah, aku mulai melihat dari sisi lain, bukan lagi "jangan", tapi apa si makna "ga bisa". Aku pernah sampaikan ke teman-teman milis, yang bener itu.. "ga mau" atau "keadaan / Tuhan berkehendak lain" karena yang bisa mengubah keadaan yah cuma Yang Maha Segalanya. Istilahnya, asal ada kemauan, ada jalan.

Kedua, my roommate. Dia pernah bilang kira-kira seperti ini, "sebenarnya ga ada yang sulit, yang sulit itu hanya di pikiran kita." Dan itu membekas banget! Jadi, semua tergantung kita, mau mempersulit, atau mempermudah. Uda jadi susah, jangan merasa susah, nanti tambah susah! (big grin)

Mengatakan itu semua, mungkin teman-teman bisa bilang, "ngomong gampang.. wong idupnya senang.." Hm.. aku bisa membenarkannya, menerimanya, memang senang, karena aku sendiri yang berpikir untuk senang. Kalau menangis itu tidak membuang waktu, apalagi bisa memberikan nasi dan lauk-pauk setiap hari, mungkin aku sudah menangisi nasib berhari-hari. Bukan gampang melalui banyak hal. Bukan senang hidup hanya dari berhutang dan sudah ngekos di umur 10 tahun. Bukan bahagia kehilangan saudara sekandung karena sudah nasib berkeluarga dengan para pengejar materi dunia. Bukan ceria sebagai anak mendengar pahitnya hidup orang tua. Banyak lagi yang saudara rasa, saya juga rasa, bahkan lebih, atau bisa juga kurang, dan bukan perbandingan yang mau kubahas di sini.

Kembali ke masalah kerjaan, aku pernah ke McD dan bertanya dalam hati, sepertinya kriteria waitress/waiter di sana ga susah. Begitu juga Dunkin Donuts, penjaga buku Gramedia, Sales, kurir, pedagang, dan lainnya. Lalu bagian mana yang "susah"? Susah cari gaji besar? Ga ada uang turun dari langit tanpa kerja keras. Susah cari kursi empuk di meja kantor? Jangan salah persepsi bahwa pedagang nasi rames penghasilannya jauh lebih besar dari orang kantoran. Atau apa lagi? (thinking)

Ga ada niatku untuk menasihati, tapi percaya deh, aku pun mengalami, bahwa kesempatan itu dicari, bukan ditunggu... Untuk mencari kesempatan pun perlu niat dan usaha, juga do'a. Itu semua, terserah padamu kawan (wave) Gunakan waktu selagi ada, kawan.. Toh kalau memang untuk makan harus mencari uang, maka bekerja jalan keluarnya. Bekerja ada banyak arti, silakan artikan masing-masing. Bisa memanfaatkan pikiran, atau menggunakan otot. Jika di jalan benar, hati tenang.. jika di jalan salah, hati resah.. itu pilihan kita masing-masing. Semoga sukses (happy)