Berawal dari kemarin pagi.. aku berangkat naik bus Patas AC dengan ongkos seharga Rp. 6,000.- Pagi itu, bus penuh sekali, memang aneh kalau hari Sabtu pagi, bus AC bisa penuh seperti hari kerja.
Setelah aku duduk, ada 2 orang yang kukira pengamen bus. Satu orang berdiri di tengah bus memegang Ukulele dan temannya berdiri di belakang. Aku duduk di bagian pinggir barisan dua kursi di tengah bus. Si Pengamen yang berdiri di tengah mulai berorasi mengenai rasa laparnya, keinginannya atas beberapa Rupiah agar diberikan kepadanya, keadaan mereka bahwa mereka bukan binatang tapi manusia yang lapar, lagi-lagi lapar, lapar, dan lapar yang ditekankan. Lalu, temannya yang berdiri di belakang maju ke tengah, mereka bertukar tempat. Temannya ini mulai membuka silet terbungkus, yang tinggal separuh potongan, lalu memotong-motong kertas Ia seperti menekankan bahwa yang ia pegang adalah benda tajam, sambil memotong-motong kertas menjadi serpihan-serpihan kecil Kemudian, ia menekankan lagi, karena lapar, lapar, dan lapar, ia langsung memasukkan sepotong silet itu ke mulut dan mengunyahnya Waduh... main berat nih
Kebanyakan penumpang yang wanita, seperti agak ngeri dan akhirnya mengeluarkan receh, bukan koin (Rp. 500) tapi selembar Rp. 1,000. Banyak sekali yang didapat di genggaman orang itu dengan menyebar rasa intimidasi seperti itu. Aku sebenarnya pun sedikit cemas, karena posisi dudukku pun di pinggir. Bukan sulit kalau ternyata siletnya ia gunakan untuk mengancam jika penumpang tidak memberinya uang. Dalam hati cuma Bismillah dan tenang, lalu seperti biasa aku menunduk (seolah minta maaf) karena tidak memberi receh. Well, tidak ada ancaman hari itu Yang bikin aku heran, lalu gitar kecilnya untuk apa? Karena setelah itu pun mereka ga mengamen, tapi turun dari bus
Pikir punya pikir, beberapa minggu lalu di hari meninggalnya nenek, aku banyak bertemu kerabat, dan beberapa dari mereka masih tidak bekerja. Kesannya, menunggu adanya peluang. Bukan cuma mereka, banyak orang-orang sekeliling rumah yang juga belum bekerja dengan mengeluh, "cari kerjaan susah.."
Sebenarnya, kalau saja aku orangnya tega, mungkin aku akan bilang, "cari kerjaan itu ga susah, yang susah cari kerjaan yang enak! cari kerjaan yang nyaman.. itu yang susah." "Ga bisa cari kerjaan" itu salah, yang bener "ga mau cari kerjaan" alias males, atau memang "belum rejekinya..."
Ada 2 hal yang inspiratif buatku:
Pertama, dari kecil aku uda makan didikan, "ga ada yang ga bisa. Jangan bilang ga bisa." Mungkin dulu rasanya kejam, semua harus bisa. Tapi sejak aku kuliah, aku mulai melihat dari sisi lain, bukan lagi "jangan", tapi apa si makna "ga bisa". Aku pernah sampaikan ke teman-teman milis, yang bener itu.. "ga mau" atau "keadaan / Tuhan berkehendak lain" karena yang bisa mengubah keadaan yah cuma Yang Maha Segalanya. Istilahnya, asal ada kemauan, ada jalan.
Kedua, my roommate. Dia pernah bilang kira-kira seperti ini, "sebenarnya ga ada yang sulit, yang sulit itu hanya di pikiran kita." Dan itu membekas banget! Jadi, semua tergantung kita, mau mempersulit, atau mempermudah. Uda jadi susah, jangan merasa susah, nanti tambah susah!
Mengatakan itu semua, mungkin teman-teman bisa bilang, "ngomong gampang.. wong idupnya senang.." Hm.. aku bisa membenarkannya, menerimanya, memang senang, karena aku sendiri yang berpikir untuk senang. Kalau menangis itu tidak membuang waktu, apalagi bisa memberikan nasi dan lauk-pauk setiap hari, mungkin aku sudah menangisi nasib berhari-hari. Bukan gampang melalui banyak hal. Bukan senang hidup hanya dari berhutang dan sudah ngekos di umur 10 tahun. Bukan bahagia kehilangan saudara sekandung karena sudah nasib berkeluarga dengan para pengejar materi dunia. Bukan ceria sebagai anak mendengar pahitnya hidup orang tua. Banyak lagi yang saudara rasa, saya juga rasa, bahkan lebih, atau bisa juga kurang, dan bukan perbandingan yang mau kubahas di sini.
Kembali ke masalah kerjaan, aku pernah ke McD dan bertanya dalam hati, sepertinya kriteria waitress/waiter di sana ga susah. Begitu juga Dunkin Donuts, penjaga buku Gramedia, Sales, kurir, pedagang, dan lainnya. Lalu bagian mana yang "susah"? Susah cari gaji besar? Ga ada uang turun dari langit tanpa kerja keras. Susah cari kursi empuk di meja kantor? Jangan salah persepsi bahwa pedagang nasi rames penghasilannya jauh lebih besar dari orang kantoran. Atau apa lagi?
Ga ada niatku untuk menasihati, tapi percaya deh, aku pun mengalami, bahwa kesempatan itu dicari, bukan ditunggu... Untuk mencari kesempatan pun perlu niat dan usaha, juga do'a. Itu semua, terserah padamu kawan Gunakan waktu selagi ada, kawan.. Toh kalau memang untuk makan harus mencari uang, maka bekerja jalan keluarnya. Bekerja ada banyak arti, silakan artikan masing-masing. Bisa memanfaatkan pikiran, atau menggunakan otot. Jika di jalan benar, hati tenang.. jika di jalan salah, hati resah.. itu pilihan kita masing-masing. Semoga sukses
Setelah aku duduk, ada 2 orang yang kukira pengamen bus. Satu orang berdiri di tengah bus memegang Ukulele dan temannya berdiri di belakang. Aku duduk di bagian pinggir barisan dua kursi di tengah bus. Si Pengamen yang berdiri di tengah mulai berorasi mengenai rasa laparnya, keinginannya atas beberapa Rupiah agar diberikan kepadanya, keadaan mereka bahwa mereka bukan binatang tapi manusia yang lapar, lagi-lagi lapar, lapar, dan lapar yang ditekankan. Lalu, temannya yang berdiri di belakang maju ke tengah, mereka bertukar tempat. Temannya ini mulai membuka silet terbungkus, yang tinggal separuh potongan, lalu memotong-motong kertas Ia seperti menekankan bahwa yang ia pegang adalah benda tajam, sambil memotong-motong kertas menjadi serpihan-serpihan kecil Kemudian, ia menekankan lagi, karena lapar, lapar, dan lapar, ia langsung memasukkan sepotong silet itu ke mulut dan mengunyahnya Waduh... main berat nih
Kebanyakan penumpang yang wanita, seperti agak ngeri dan akhirnya mengeluarkan receh, bukan koin (Rp. 500) tapi selembar Rp. 1,000. Banyak sekali yang didapat di genggaman orang itu dengan menyebar rasa intimidasi seperti itu. Aku sebenarnya pun sedikit cemas, karena posisi dudukku pun di pinggir. Bukan sulit kalau ternyata siletnya ia gunakan untuk mengancam jika penumpang tidak memberinya uang. Dalam hati cuma Bismillah dan tenang, lalu seperti biasa aku menunduk (seolah minta maaf) karena tidak memberi receh. Well, tidak ada ancaman hari itu Yang bikin aku heran, lalu gitar kecilnya untuk apa? Karena setelah itu pun mereka ga mengamen, tapi turun dari bus
Pikir punya pikir, beberapa minggu lalu di hari meninggalnya nenek, aku banyak bertemu kerabat, dan beberapa dari mereka masih tidak bekerja. Kesannya, menunggu adanya peluang. Bukan cuma mereka, banyak orang-orang sekeliling rumah yang juga belum bekerja dengan mengeluh, "cari kerjaan susah.."
Sebenarnya, kalau saja aku orangnya tega, mungkin aku akan bilang, "cari kerjaan itu ga susah, yang susah cari kerjaan yang enak! cari kerjaan yang nyaman.. itu yang susah." "Ga bisa cari kerjaan" itu salah, yang bener "ga mau cari kerjaan" alias males, atau memang "belum rejekinya..."
Ada 2 hal yang inspiratif buatku:
Pertama, dari kecil aku uda makan didikan, "ga ada yang ga bisa. Jangan bilang ga bisa." Mungkin dulu rasanya kejam, semua harus bisa. Tapi sejak aku kuliah, aku mulai melihat dari sisi lain, bukan lagi "jangan", tapi apa si makna "ga bisa". Aku pernah sampaikan ke teman-teman milis, yang bener itu.. "ga mau" atau "keadaan / Tuhan berkehendak lain" karena yang bisa mengubah keadaan yah cuma Yang Maha Segalanya. Istilahnya, asal ada kemauan, ada jalan.
Kedua, my roommate. Dia pernah bilang kira-kira seperti ini, "sebenarnya ga ada yang sulit, yang sulit itu hanya di pikiran kita." Dan itu membekas banget! Jadi, semua tergantung kita, mau mempersulit, atau mempermudah. Uda jadi susah, jangan merasa susah, nanti tambah susah!
Mengatakan itu semua, mungkin teman-teman bisa bilang, "ngomong gampang.. wong idupnya senang.." Hm.. aku bisa membenarkannya, menerimanya, memang senang, karena aku sendiri yang berpikir untuk senang. Kalau menangis itu tidak membuang waktu, apalagi bisa memberikan nasi dan lauk-pauk setiap hari, mungkin aku sudah menangisi nasib berhari-hari. Bukan gampang melalui banyak hal. Bukan senang hidup hanya dari berhutang dan sudah ngekos di umur 10 tahun. Bukan bahagia kehilangan saudara sekandung karena sudah nasib berkeluarga dengan para pengejar materi dunia. Bukan ceria sebagai anak mendengar pahitnya hidup orang tua. Banyak lagi yang saudara rasa, saya juga rasa, bahkan lebih, atau bisa juga kurang, dan bukan perbandingan yang mau kubahas di sini.
Kembali ke masalah kerjaan, aku pernah ke McD dan bertanya dalam hati, sepertinya kriteria waitress/waiter di sana ga susah. Begitu juga Dunkin Donuts, penjaga buku Gramedia, Sales, kurir, pedagang, dan lainnya. Lalu bagian mana yang "susah"? Susah cari gaji besar? Ga ada uang turun dari langit tanpa kerja keras. Susah cari kursi empuk di meja kantor? Jangan salah persepsi bahwa pedagang nasi rames penghasilannya jauh lebih besar dari orang kantoran. Atau apa lagi?
Ga ada niatku untuk menasihati, tapi percaya deh, aku pun mengalami, bahwa kesempatan itu dicari, bukan ditunggu... Untuk mencari kesempatan pun perlu niat dan usaha, juga do'a. Itu semua, terserah padamu kawan Gunakan waktu selagi ada, kawan.. Toh kalau memang untuk makan harus mencari uang, maka bekerja jalan keluarnya. Bekerja ada banyak arti, silakan artikan masing-masing. Bisa memanfaatkan pikiran, atau menggunakan otot. Jika di jalan benar, hati tenang.. jika di jalan salah, hati resah.. itu pilihan kita masing-masing. Semoga sukses
1 comment:
Tulisan menarik,
Boleh jadi susah itu terkait dg cita-cita masa kecil yg tak tercapai. Salam pertemanan.
Post a Comment